Selasa, 13 Desember 2011

Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap Etika Lingkungan

Entah apa yang merasuki pikiranku malam ini, sebenarnya ingin menulis tentang lingkungan namun karena sebenarnya tidak tahu harus menulis apa saya jadi teringat sebuah pelajaran tentang etika lingkungan. Namun bukan mengenai apa tentang etika lingkungan itu sendiri yang ingin saya bahas tetapi kauh mundur ke belakang tentang filsafat Yunani mengenai lingkungan dan alam. 
Tulisan ini berawal dari pendapat Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. 
Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras.  Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Jika diperhatikan umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa  dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan. Mereka beranggapan bahwa dunia material tersusun dari sebuah "zat tertentu" yang mendasari kehidupan dan alam. 
Di sisi lain Plato (termasuk filsuf paska Socrates) memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Filsuf yang terkenal dengan metafisika ini memandang alam dari sisi metafisika. Menurut Plato alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.
Eugene C Hargrove -  seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak mungkin.
Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element metafisik yang  menjadi dasar segala sesuatu.
Mungkin ini pengaruh jaman dimana manusia dengan teknologinya saat itu belum mampu merubah bentang alam dan saya membayangkan jika Plato masih hidup saat ini, mungkin dunia ide yang digambarkannya tentu tidak terlalu sempurna lagi..   
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar