Selasa, 13 Desember 2011

Gunungan wayang, miniatur keseimbangan alam.

Sebagai orang Jawa yang pernah menghabiskan sebagian masa kecil di daerah terpencil di Wonogiri, Jawa Tengah, bagi ku wayang adalah bagian dari diriku sendiri. Tokoh-tokoh seperti Werkudoro, Arjuno, Baladewo merupakan tokoh-tokoh super hero versi diriku sendiri. Bukan hanya karena aku mencintai budaya namun belum adanya listrik dan televisi swasta hingga tahun1996 di kampungku membuat ku tumbuh dalam dongeng pewayangan. Mungkin jika saat itu aku tumbuh di kota, aku hanya akan tahu tokoh superhero import. Bagiku inilah sebuah berkah ketika tumbuh di wilayah terpencil di masa kecil. 

Namun bukan mengenai masa kecil ku yang akan kuceritakan disini ataupun cerita bagaimana aku menikmati wayang (mungkin bisa kuceritakan dalam tulisan berikutnya) namun sebuah filosofi dari satu figure di dunia pewayangan. Mungkin disebut figure juga tidak tepat karena ini adalah bukan tokoh hidup melainkan sebuah "gunungan". Ya filosofi gunungan di lihat dari  sisi lingkungan. 
Gunungan biasa dimainkan setiap sang dalang akan memulai dan mengakhiri pertunjukan wayang (tancep kayon). Gunungan bisa dimainkan untuk menandai setiap babak yang dimainkan. Bisa pula dimainkan untuk menggambarkan/mengasosiasikan sesuatu, seperti: gunung, pohon besar, ombak samodra, anginributapi berkobar hebat, gua, dll.Fungsi gunungan selain untuk mengasosiasikan seperti yang disebut di atas, juga sebagai tanda aba-aba dalang kepada penabuh gamelan, terutama pengendang dan pengendernya.
Di bagian bawah terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga oleh dua raksasa (Cingkoro Bolo dan Bolo Upotomemegang pedang dan perisai, bagian ini sebagai perumpamaan pintu gerbang istana, Sebelah atas terdapat gambar pohon kayu yang dibelit oleh seekor ular besar dan gambar segala binatang hutan, gambar ini merupakan perumpamaan situasi atau keadaan dalam hutan.  
Sebuah gambaran yang sangat kompleks mengenai gunungan ini melambangkan kehidupan alam raya dan bentuknya yang mengerucut ke atas menggambarkan tujuan kehidupan adalah Tuhan. Pohon yang digambarlkan dalam bunungan juga bukan pohon biasa melainkan pohon Dewandaru yang dianggap membawa pengaruh keabadian atau kelanggengan. 
Dari melihat gunungan ini, aku menyadari bahwa sejak jaman dulu (aku gak tahu sejak kapan gunungan muncul di pewayangan), budaya kita telah dapat menggambarkan kehidupan secara kompleks dan seimbang secara ekologi. Adanya pohon, flora dan fauna adalah faktor penting bagi kehidupan alam raya supaya kehidupan tetap berjalan seimbang dan abadi. Lantas bagaiman dengan kita saat ini? 
Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap katon, gunungan mulai bergoyang dan di kembalikan oleh sang dalang.. dan Hadrilah konflik antar manusia di cerita wayang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar