Senin, 25 Oktober 2010

Meracau


Pukul 3.55 dini hari, segera menulis. Tidak tidur, namun kakiku rasanya mati rasa, suatu sambutan selamat datang yang diberkati.
Malam ini sungguh gelap. Solusi yang sudah terlalu lama mencekikku bersama dengan debu padang pasir dan sakitnya kakiku untuk menggapai pintu-pintu yang tersembunyi. Ujung kematian palsu untuk mengeluarkan para perampok nurani. Masih banyak lagi yang belum kulihat. Apa yang diputuskanNya di bawah bintang-bintang itu? Seseorang harus menaruh dirinya sendiri, dimana pun dia berpijak.
Dia berjalan dalam cahaya di dalam istana ThebanNya melewati aula yang diabaikan, aula yang melemparkan diriNya sendiri ke dalam hasutan yang meresahkan demi mendapatkan tahta keemasan sampai ranjang ukirNya. Apakah kekuasaanNya berharap untuk melihat perunjukan sirkus? Kurasa tidak. Apakah yang kadang berperan sebagai Dewa Osiris itu sedang mencari teman? Kurasa tidak. Apakah penguasa surgawi Ma’at ini masih ingin menunggang unta, memberi makan harimau, menguliti tahanan, bermain ayunan pada palang yang bergantung, bermain dengan belalai gajah, membelai jerapah? Kurasa tidak.
Hasrat-hasrat itu meliputiku malam ini dan mencegahku untuk tidur. Malam ini, setelah beberapa menit memikirkan kesulitanku, Horus memberi upeti yang yang lebih kejam daripada sebelumnya yaitu sebuah sebuah permainan kata dalam bahasa masa depan. Horus meminta waktu, waktu untuk perutku yang sakit, terbakar di dalam rasa malu dan sepi, tak dapat di dekati, waktu yang sangat berharga dekat dengan jurang kematianku, bagaimana bila pelindungku yang berkepala elang itu meminta imbalan dariku?
Bagaimana aku merencanakan perjalanan terakhirku itu yang kuyakin akan segera datang, tak diragukan lagi, yang diantarkan oleh panah Hyksos atau oleh pedang beracun para penjahat  yang berhamburan ke arahku atau oleh buaya yang tumbuh setiap hari di dalam perutku, yang pada akhirnya akan memakan perutku jika aku tidak segera mengirimnya ke bawah tanah.
Saat itu kuharap aku sudah bangun untuk menyambut sang mentari walapun aku telah kehilangan hari utuh lagi demi rasa sakit dan lelah tubuhku. Berat kakiku rasanya sudah seratus kilo gram. Kepalaku rasanya di tekan oleh dua kepalan raksasa. Raungan perutku yang mengamuk, kucoba menawar beberapa menit lagi tetapi dia tak mau berdamai, malah semakin rusuh.
4.25, shubuh, segera membuat susu dan menunggu adzan shubuh yang tiba-tiba kurindukan.

 

Jumat, 28 Mei 2010

Untuk Rea

Di sisa kata yang mampu kuucapkan ini, aku hanya ingin menancapkan sebuah malam berbingkai reruntuhan senyum dan bayangan. Sebuah malam indah dalam gulitanya yang mengendapkan semua suara, yang merangkak diantara belantara detik menuju hampa. Sebuah malam sang Bandung Bondowoso yang tak ingin segera berakhir.

Maka rebahlah disini, di tikar bianglala senja yang telah menghilang ini dan lihatlah dengan terpejam segala yang tak pernah nampak. Disini kita tak mendendangkan nada hanya bunyi dan kata-kata.
Di sana di balik bayangan anyaman awan itu ada sesuatu yang ingin diketahui dengan diam.

Disana ada satu masa yang berlangsung di luar waktu dimana rasa, warna dan suara akan kehilangan eksisitensinya. Semuanya melebur menjadi hening. Sedangkan ruang akan serupa gelombang, saling terlipat namun tak berdesakan dimana aku, kamu dan mereka ternyata hanya satu rupa dalam senyap.

Dari kedalaman kosong yang tak hendak putus ini, melompatlah dari setiap helaan nafasmu. Rasakan ya rasakanlah sesuatu yang asing, tak terkenali namun indah ini. Resapilah kejemuan dengan tenang maka cahaya akan menjemputmu disana.
Aku kan pergi untuk bermetaformosa, menjemput bentuk baru yang selalu kurindu.
Selamat datang!!

Tuhan yang kesepian di Taman kota

Tuhan yang kesepian memanggilku bercakap
di taman kota.


Malam di jalan kehabisan pejalan,
menjaga kami dari kantuk. 



Karena kami harus terus terjaga,
kalau-kalau mimpi rakyat terlepas,
saling berkumpul mengadukan perlakukanku
kepada Tuhan. 



Ini bisa runyam.

Aku harus bisa mengantisipasi,
jangan sampai Tuhan tahu.


Dia itu sosoknya tak terduga,
biasanya mihak rakyat kecil.


dan Tuhan kalau kesepian 
permintaannya bisa macam-macam
sampai menjelang pagi.

Kamis, 27 Mei 2010

pada sebuah senja

Senja di taman ini terasa lebih manis di akhir bulan maret ini. Bunga-bunga terlihat begitu angun dan menikmati cumbuan kumbang dan kupu-kupu. Sedangkan langit tampak meneduhkan dengan semburat oranye dan lembayungnya.
Di bangku taman yang terletak di sudut timur, duduklah ketiga orang pria yang entah bagaimana mereka bisa duduk bersama disana. Orang di sebelah kanan adalah seorang lelaki muda berumur 20-an dengan rambut panjang dan kacamata. Di tengah adalah seorang lelaki dengan kaus singlet dan asap rokok yang tak henti-hentinya mengepulkan racun ke udara dengan tatapan muka terus menengadah ke langit.. Sedangkan pria ketiga yang duduk di sebelah kiri adalah pria gemuk dengna muka kekanakan dan asyik mengunyah sesuatu di mulutnya.
“ Ah sebuah senja yang indah….” Gumam lelaki bersinglet.
“ ya akan lebih indah jika tak kau kotori langit ini dengan asap rokokmu bung” sahut lelaki gondrong.
“ ah.. kau mulai seperti manusia di seberang pagar itu selalu merepotkan diri dengan hal-hal kecil. Lihatlah indah senja yang besar itu dan nikmati kebebasan ini” kata lelaki bersinglet.
“Kebebasan apa? Nyatanya sekarang aku tak bebas dari asap rokokmu yang berembun di kaca mataku” sahut si gondrong dengan ketus.

Minggu, 28 Februari 2010

Humaniora : ah

Ada hantu yang setiap malam mengintai perenungan mereka yang bergulat dengan teori tentang manusia. Hantu itu bukanlah komunisme, hantu mengakibatkan para pengamat humaniora  ketakutan dalam pengamatan dan analisisnya menghasilkan reduksionalisme, sebuah hal yang fatal yang dapat menutupi fakta yang secara empiris diamatinya dan secara rasional di analisisnya. Ketakutan yang sama juga dialami oleh Sigmund Freud dalam membangun teori psikoanalisisnya dengan  memasang kaca mata skeptitisme.

Jumat, 26 Februari 2010

Tabah sampai akhir (part 1)

Jika setiap centi tubuh kami mampu bercerita, mungkin cerita mereka akan lebih baik dari pada sebongkah ingatan dari syaraf otak  yang menjalar melalui impuls ke jemari ini. Bagaimana setiap nafas yang terlepas berarti satu ayuhan kaki dan satu sambaran parang memangkas aral Calamus yang seakan tak bertepi, dan itu semua berarti hanya sedikit sel memoriku yang bekerja untuk mengingat. Tapi sebagai pertanda, layaknya monumen pahlawan bangsa 2x3 meter yang tegak di persimpangan jalan untuk menginngat jasa mereka, betapapun sedikitnya itu untuk mewakili jerih payahnya, begitu pula aku saat ini mencoba membangunnya. Sebuah cerita, sebuah monument bagiku tentang target, posisi, lapar dan putus asa.   

Kamis, 25 Februari 2010

Gnothi Seauthon!

Di Yunani, sejak abad VI S.M., terkenal sebuah tempat pemujaan Apollo di Delphi. Ke tempat itulah raja-raja dan rakyat banyak meminta nasihat. Seorang pendeta wanita duduk di atas kursi yang dipenuhi asap dari sajian pemujaan. Dalam keadaan trance, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung dari masalah kontes lagu hingga urusan agama dan politik. Ketika penjahat-penjahat di koloni Locri meminta nasihat bagaimana mengatasi kekacauan, orakel Delphi menjawab:  “Buatlah hukum bagimu”. Ketika orang-orang bertanya siapa manusia paling bijak dewa Apollo melalui mulut pendeta Delphi menjawab : “ Socrates”.

Sebuah Jalan

Sebuah jalan
Aku adalah sebuah jalan
dan perjalanan adalah rumahku..
yang biru, yang membeku dalam kardus berdebu..

sementara langit yang menyeruak kelabu,
tempatku menitipkan senyum dan rintihan
yang kadang kelu dan tersekat dibalik kelambu

dan kepada malam,
yang selalu kurinduikan dimanapun ia..
ku hanya bisa diam dan menatap dalam padanya
karena kuyakin ia lebih tahu

apa mimpimu? ingat arah,tujuan dan jarak!!

arah?
jangan tanyakan itu padaku..
karena barat dan timur tak ada beda..
kecuali kau menentang Coupernicus
dan tujuan hanyalah titik hempaskan nafas sekejap
seperti klimaks cerita yang besok akan biasa
karena jarak terdekatpun pun adalah titik lengkung dalam
hidup yang relatif...

Kenapa TiangAlas

Bayangkan sebuah rumah dan anda akan tahu bagaimana rumah itu akan berdiri karena mereka punya Tiang dan berpijak pada alas. Beginilah ide muncul dengan tiang dan alas, saya hanya ingin membagikan pemikiran saya untuk membangun sebuah rumah pengetahuan, perenungan, canda-tawa yang saya miliki.
Tiang dan Alas, dalam bahasa Jawa yang juga berarti "manusia hutan", adalah juga sebagai perwujudan diri saya dalam kehidupan ini dimana dunia ini adalah sebuah hutan juga. Kita tersesat, berlari, berputar-putar dan kadang mengalami jalan yang sulit.
inilah TiangAlas.