Jumat, 26 Februari 2010

Tabah sampai akhir (part 1)

Jika setiap centi tubuh kami mampu bercerita, mungkin cerita mereka akan lebih baik dari pada sebongkah ingatan dari syaraf otak  yang menjalar melalui impuls ke jemari ini. Bagaimana setiap nafas yang terlepas berarti satu ayuhan kaki dan satu sambaran parang memangkas aral Calamus yang seakan tak bertepi, dan itu semua berarti hanya sedikit sel memoriku yang bekerja untuk mengingat. Tapi sebagai pertanda, layaknya monumen pahlawan bangsa 2x3 meter yang tegak di persimpangan jalan untuk menginngat jasa mereka, betapapun sedikitnya itu untuk mewakili jerih payahnya, begitu pula aku saat ini mencoba membangunnya. Sebuah cerita, sebuah monument bagiku tentang target, posisi, lapar dan putus asa.   
          23 Mei 2008 di tengah isu kenaikan BBM yang mengakibatkan antrian mobil di setiap SPBU dan dimana minyak bumi eceran sampai terjual 20 ribu rupiah setiap liternya, kami, aku, Warman, Syahrul dan Asep seakan terlempar begitu saja di Lubuk tareh. Setelah dua hari kami di atas roda Hardtop yang sempat antri  selama 5 jam demi 14 liter solar di Damasraya dan sempat menginap di sebuah rumah yang hanya kami tahu bahwa itu rumah teman dari teman kami yang kami tahu hanya dari namanya, Wati.  
          Lubuk tareh, sebuah dusun yang kami tahu dari lembaran peta buatan 1976 dengan sedikit petunjuk dari orang-orang yang kami temui di jalan, tepat 15:23 WIB kami mencapainya. Tidak ada gapura selamat datang ataupun hanya sekedar sebuah tugu batu sebagai pertanda, kami hanya tahu  bahwa kami telah tiba di Lubuk tareh dari sudut-sudut bukit yang memuncak kebiruan di balik atap seng rumah-rumah seragam bercat hijau. .
Sesaat, dan hanya sesaat saja kami sempat menikmati keheningan sawah kekuningan yang tersenyum dan kedamaian aliran sungai Mamong yang mengalir deras, karena sesudah itu entah dari mana mereka berasal bocah-bocah kecil telah mengerumuni mobil kami. Di belakangnya baru empat orang dewasa dengan tatapan waspada bergantian menjabat tangan kami.
          Bagaikan hanya sebuah ritual saja kami saling berkenalan nama walau tak satupun nama tersebut sempat teringat jelas. Selanjutnya rentetatan senapan mesin mereka yang terselip di belakang lidahnya memberondong kami dengan pertanyaan yang telah kami tahu jawabannya sebelum pertanyaan tersebut terdengar. Asal, tujuan, kegiatan apa hingga isi tas kami mereka pertanyakan. Hingga kamipun mencabut sebuah senjata pamungkas dari map kami. Sebuah lembaran putih bergambar Oryx yang membungkam mereka.
              Seperti biasa sebagai manusia yang suka berspekulasi, mulut-mulut kami saling bersilat bahwa dusun ini lokasi transmigrasi karena bercat seragam sampai menduga bahwa di dusun ini pasti tak ada pesawat televisi. Semua salah setelah kami bertemu dengan seorang tokoh masyarakat yang dirumahnya tergantung sebuah foto dirinya dengan pak gubernur. Sebuah perhiasan termahal dirumahnya dan sekaligus sebagai pusat kebanggannya. Rumah yang seragam adalah hasil campur tangan pemerintah yang memberikan 50% bantuan pengembangan desa. Sebuah keajaiban.
          Datuk Kelambu Alam, begitulah ia memperkenalkan dirinya, sesuai dengan letak rumahnya yang persis di tepi hutan dan disanalah kami menginap semalam. Hanya sedikit basa-basi dan sepiring keripik singkong sebagai lauk makan malam kami,ia meninggalkan kami malam itu karena putrinya yang berumur 4 tahun minta menginap di sawah. Sebuah pemandangan romantis tergambar dimataku, kala mereka, seorang bapak, ibu dan kedua putri mereka beriringan meniti pematang sawah demi menjaga sawah dari serbuan babi hutan.  Hari itu rumus romantis = makan malam + lilin + alunan biola + anggur merah gugur dimataku. 

2 komentar:

  1. lanjutannya kapan ya?

    rumus romantis terbaru apa dong jadinya kk?

    BalasHapus
  2. Maaf baru di balas.. lanjutannya akan segera di tulis.. mengumpulkan memory yang sempat hilang dulu.. :D

    BalasHapus