Minggu, 28 Februari 2010

Humaniora : ah

Ada hantu yang setiap malam mengintai perenungan mereka yang bergulat dengan teori tentang manusia. Hantu itu bukanlah komunisme, hantu mengakibatkan para pengamat humaniora  ketakutan dalam pengamatan dan analisisnya menghasilkan reduksionalisme, sebuah hal yang fatal yang dapat menutupi fakta yang secara empiris diamatinya dan secara rasional di analisisnya. Ketakutan yang sama juga dialami oleh Sigmund Freud dalam membangun teori psikoanalisisnya dengan  memasang kaca mata skeptitisme.
Reduksionalisme, adalah kata kuncinya. Kita tahu bahwa asumsi adalah dukun beranak dari formalitas dan anomaly adalah cucu kandungnya. Ketidaklengkapan piranti ilmu humaniora telah membawa kita kepada pandangan kita bahwa dunia itu terlalu kompleks, baik dunia alamiah maupun dunia kemanusiaan kita sendiri.
Manusia memang adalah mahkluk yang sangat unik, bukan hanya sebuah hasil kulminatif proses bioevolusi  bumi yang hanya butuh makan, minuum dan seks. Manusia memiliki “kehendak untuk mengetahui”. Karena itulah manusia mulai melakukan atribusi terhadap semua yang berkaitan dengan eksistensinya, ia berusaha mengenal lingkungan sekitarnya bahkan dirinya sendiri. Ia membentuk logika-logika epistimologis mulai melakukan designasi untuk memberikan jawaban-jawaban solutif terhadap kebutuhannya saat itu. Lebih jauh ia terus melakukan kalibrasi terhadap designasi-designasi yang sebelumnya secara terus menerus sehingga akhirnya sering merasa tersesat dalam rimba formulasi dan ketetatan yang jauh dari apa yang dialami sendiri.
Tak terelakkan bahwa telah terjadi keterpisahan antara ilmu alam dan ilmu social. Keterpisahan yang hasil warisan Aristoteles ini telah membuat kita kebingungan kontemporer dalam  saat kita harus bicara tentang  soal aspek etis bayi tabung, kosmologis dan lain-lain. Namun tanpa sadar, ilmu alam dan ilmu social akan mengembangkan suatu model  dalam struktur konteks yang akan dibicarakan. Namun sepertinya, permodelan dalam ilmu humaniora hampir selalu mengkuti permodelan dalam ilmu alam. Saat abad 20 teori relativitas tengah naik daun, ilmuwan humaniora tiba-tiba membicarakan model relativitas dalam membahas permasalahan etika social yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan transformasi Lorentz yang melahirkan teori relativitas Eisntein.
Oleh karena itu ilmu humaniora harus mengembangkan modelnya sendiri, walaupun pendekatan secara matematika dalam ilmu social masih jauh dari ilmu alam. Statistika mungkin adalah jawabannya dimana kita merekan berbagai variable, direkam secara kuantitatif, ditampilkan dalam citra angka-angka kemudian dibandingkan secara komperehensif kuantifikasi tersebut dengan factor kualitatif lainnya. Namun tetap saja, pembahasan ilmu social berlandasakan pada statistika akan dipenuhi oleh hal-hal teknis yang dapat menjauhkan inovasi teori social dari dirinya. Dalam perspektif humaniora, pendekatan statistic seringkali terlalu behavioralistik dan terlalu dipenuhi dengan asumsi.
Permasalahnnya model statistic seperti apa yang dapat dikembangkan untuk memahami realitas social? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar