Kamis, 27 Mei 2010

pada sebuah senja

Senja di taman ini terasa lebih manis di akhir bulan maret ini. Bunga-bunga terlihat begitu angun dan menikmati cumbuan kumbang dan kupu-kupu. Sedangkan langit tampak meneduhkan dengan semburat oranye dan lembayungnya.
Di bangku taman yang terletak di sudut timur, duduklah ketiga orang pria yang entah bagaimana mereka bisa duduk bersama disana. Orang di sebelah kanan adalah seorang lelaki muda berumur 20-an dengan rambut panjang dan kacamata. Di tengah adalah seorang lelaki dengan kaus singlet dan asap rokok yang tak henti-hentinya mengepulkan racun ke udara dengan tatapan muka terus menengadah ke langit.. Sedangkan pria ketiga yang duduk di sebelah kiri adalah pria gemuk dengna muka kekanakan dan asyik mengunyah sesuatu di mulutnya.
“ Ah sebuah senja yang indah….” Gumam lelaki bersinglet.
“ ya akan lebih indah jika tak kau kotori langit ini dengan asap rokokmu bung” sahut lelaki gondrong.
“ ah.. kau mulai seperti manusia di seberang pagar itu selalu merepotkan diri dengan hal-hal kecil. Lihatlah indah senja yang besar itu dan nikmati kebebasan ini” kata lelaki bersinglet.
“Kebebasan apa? Nyatanya sekarang aku tak bebas dari asap rokokmu yang berembun di kaca mataku” sahut si gondrong dengan ketus.
“Kamu tahu Alexis de Tocquevilles  pernah berkata Siapa yang tidak mencintai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, maka ia terlahir sebagai budak, ku rasa kau mulai menjadi budak oleh kacamatamu sendiri he..he…..” sahut lelaki bersinglet diringi tawa.
“tapi semua ada batasnya” tukas si gondrong.
“Batas? Dari mana kau tahu ada batas? Sedangkan kadang semua perubahan dan perbedaan itu terjadi begitu pelan dan lembut” jawab si singlet. “dan kau akan menyadari bahwa telah melewati batas jika kau sudah di seberang sana” imbuhnya.  
“ Kau mungkin kau telah terlalu tua kawan” kata si gondrong dengan sedikit terkekeh. “pikiranmu terlalu rumit dan berliku-likua, bagiku batas dari seseorang adalah orang lain” sahut si gondrong dengan dengan datar.
Mereka pun lantas terdiam untuk beberapa saat dan kembali tenggelam dalam senja itu. Tampak anak-anak sedang bermain laying-layang dengan riang di ujung jalan itu. Tiba-tiba terdengar sebuah suara aneh dari lelaki yang disebelah kiri. Cress..cres…
“hei…” teriak si gondrong kepada si gendut yang di sebelah kiri. “kenapa kamu makan rumput itu?”
“ memangnya kenapa? Aku bebas makan apa saja seperti kamu bebas berbicara apa saja”
“tapi itu bukanlah makanan manusia kawan, kamu seperti kerbau” hardik si gondrong.
“ ah anak muda satu ini selalu meributkan hal kecil..he..hehh” tawa dari si singlet dengan cueknya..
“ya mungkin saja aku ini kerbau, karena kami sama-sama vegetarian”  jawab si gendut denga lahapnya memakan rumput-rumput itu. “Oya pak Tua, apakah aku ini kerbau?” Tanya si gendut kepada orangtua yang bersinglet.
“Ya..ya.. bahkan Kant pun hanya mengatakan bahwa manusia itu cuma hewan yang rasional” kata si singlet dengan santai. “bahkan sejak kapan manusia menjadi manusia, bukan kera yang berjalan tegak?” katanya masih menengadah ke langit.
 “Oya anak muda berkacamata, ada apa denganmu kau terlihat sangat kesal dari tadi?” Tanya pak tua bersinglet sambil menyalakanbatang rokok yang baru.
“Ya, aku sedang kesal dengan semua hal saat ini, kepada dunia, asap rokokmu hingga rumput yang dimakan oleh si gendut itu” Jawabnya sekenanya.
“Mengapa?”
“Selama ini tak ada yang percaya denga kata-kataku, bahkan mereka selalu menilai diriku ini manusia aneh. Minggu lalu aku dan teman-temanku sedang mendiskusikan tentang kemerdekaan dan kebebasan. Namun mereka tak percaya saat ku katakana bahwa Jenderal Sudirman akan segera keluar dari hutan dan Jogja akan menjadi milik kita kembali”  Jawabnya.
“Ehhmmm.. “ jawab si Tua dengan muka cengar-cengir. Dasar bocah gila, ujarnya dalam hati.
“Ooo mereka teman-temanmu memang bodoh” Jawab si gendut. “Hey bolehkah aku bertanya, apakah Jenderal Sudirman di hutan juga makan rumput?”
“Urusan makan saja yang dipikiranmu itu” tukas si anak muda. “Hei Pak tua, kenapa kamu terus memandangi langit?”
“eee.. Aku sedang menunggu saudaraku menjemputku untuk membawaku ke Mars, sudah 3 jam aku menunggu mereka. Hei apakah kalian tahu berapa lama perjalanan Mars ke bumi?”
“Mungkin mereka sedang terjebak macet” Jawab si Gendut.
Perlahan senja semakin menghilang dan lampu-lampu taman telah mulai berpendar. Di luar pagar dari taman itu anak-anak kecil telah mulai berlarian kembali ke rumahnya masing-masing, seperti sekawanan lebah yang terus bergarak sambil berdengung.
Sesaat kemudian Taman di Rumah Sakit Jiwa itupun sepi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar