Rabu, 07 Desember 2011

Geliat Petani gambir dan perambahan hutan di Kab. 50 Kota, Sumbar

Perjalananku kali ini menghantarkan saya menyusuri pedalaman kabupaten 50 Kota, Sumater Barat. Kabupaten ini terletak di bagian timur wilayah provinsi Sumatera Barat atau 124 km dari Kota Padang.. Kabupaten yang memiliki kawasan wisata Lembah Harau ini merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian . Salah satu komoditas pertanian yang sangat diandalkan dari kabupaten 50 kota adalah ekstrak tanaman gambir.

View Larger Map

Gambir, mungkin sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kita, bagi orang Jakarta mungkin yang terlintas di pikiran saat mendengar kata Gambir adalah slah satu kawasan kota Jakarta dan stasiun kereta apinya. Begitu juga dengan saya, walaupun akrab dengan kata gambir namun saya buta sama sekali tentang bagaimana bentuk tumbuhan ini dan kegunaannya. Gambir yang memiliki nama ilmiah Uncaria gambir ini, merupakan tumbuhan perdu yang tumbuh pada rentang ketinggian 200-800 meter dpl. Bagian yang dimanfaatkan dari gambir adalah hasil ekstraksi dari daunnya. Salah satu kegunaan yang paling terkenal di Indonesia adalah sebagai salah satu komponen dalam menyirih. Selain itu hasil ekstraksi gambir dimanfaatkan dalam berbagi industri seperti kosmetik, penyamakan kulit, farmasi dan lain-lain.
Kembali ke perjalanan saya kali ini, kawasan yang saya kunjungi pertama kali di Kabupaten 50 Kota adalah Nagari Pangkalan Koto Baru tepatnya di Jorong (setingkat dusun untuk Sumatera Barat) Tigo Balai menembus wilayah Jorong Manggilang. Di desa ini saya pertama kali melihat perkebunan gambir dan camp pembuatan gambir tradisional. Kesan pertama saya saat melihat camp pembuatan gambir tradisional adalah sebuah pondok yang lembab dan berbau menyengat khas. Namun dari beberapa pondok pengolahn gambir yang saya temui di kawasan tersebut tampak kosong tanpa aktifitas dan tampak perkebunan gambir yang tidak terurus. Kebun gambir yang terletak di tepi hutan ini sebagian besar dibiarkan begitu saja tanpa dipanen dan diolah .
Melihat kondisi tersebut, besar keinginan saya untuk mengetahui penyebab terlantarnya kebun gambir tersebut dan efeknya terhadap masyrakat dan lingkungan sekitar. Beruntung saya bisa menemui salah seorang petani gambir di Jorong Manggilang yang masih bertahan. Jawaban dari kondisi ini adalah terus merosotnya harga jual gambir yang hanya Rp.15.000/kg. Menurut bapak petani ini, harga tersebut tidaklah seimbang dengan proses pembuatan dan ongkos produksinya. Seperti yang saya ketahui dari bapak tersebut, ekstraksi getah gambir membutuhkan proses yang panjang. Selain itu pada umumnya petani di kawasan tersebut hanyalah “pekerja” dari Induk semang pemilik ladang dengan sistem pembagian 50:50 antara pekerja dan induk semang. Sehingga keberlangsungan produksi sangat tergantung dari perhitungan induk semang tersebut. Jika harga naik maka proses produksi berlanjut dan sebaliknya jika harga turun. Lalu bagaimana dengan nasib  pekerjanya? Untuk Nagari Jorong Tigo Balai, efek bagi pekerja kebun gambir tidak terlalu terliht karen di lokasi ini selain gambir juga terdapat beberapa komoditas perkebunan yang lain seperti karet dan kelapa sawit.
Hutan yang tersisa dari ekspansi lahan gambir
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas, maka saya melanjutkan perjalanan saya ke Nagari Gunung Meintang tepatnya di Jorong Lubuk ameh. Di lokasi ini geliat petani gambir masih  lebih hidup di banding di Jorong Tigo Balai. Namun disini juga saya menemukan trik kotor dari para pekerja gambir agar dapat bertahan yaitu mencampur gambir olahan mereka dengan pupuk urea untuk menambah berat timbangan. Walaupun begitu dari sekian ratus hektar ladang gambir, hanya ladang gambir yang dekat dengan pemukiman saja yang masih aktif, sedangkan sebagian besar ladang gambir yang berbatasan dengan kawasan hutan tidak aktif lagi.
Kayu balok dari kgiatan illegal logging
Disinilah saya menemukan temuan yang menarik dan membut saya miris terkait dengan usaha alternative masyarakat yang tidak mampu bertahan dengan mengolah gambir. Kegiatan itu adalah perambahan hutan. Sepanjang sungai yang kami lintasi kami berhasil menemukan 3 camp perambahan hutan yang aktif dan terlihat puluhan kubik kayu yang siap di angkut. Kondisi ini membuat saya sedih dan memunculkan dilema tersendiri bagi saya.
Dari hasil perbincangan saya dengan beberapa perambah hutan, mereka mengakui bahwa  aktifitas inui mereka lakukan belum lama yaitu sekitar 2-3 bulan yang lalu seiring dengan jatuhnya harga gambir. Atas desakan ekonomi dan karena adanya pemodal kayu, mereka terpaksa melakukan kegitan perambahan hutan. Ketika saya tanyakan apakah jika harga gambir nanti kembali normal apakah mereka akan kembali mengolah gambir atau tetap merambah hutan. Mereka hanya tersenyum malu-malu. Begitu juga jika saya katakan bahwa kegiatan mereka ini telah melanggar hukum. Mereka hanya pasrah jika nanti mereka bermasalah dengn aparat hukum karena ini semua mereka lakukan demi ekonomi keluarga.
Inilah gambaran dari nyata dari kehidupan saudara  kita di pedalaman. Selalu ada saja ironi, ketika pemerintah tidak tanggap dalam mengatasi permasalahan di masyarakat, maka mereka akan menemukan alternative usaha mereka sekedar untuk hidup.
Saya hanya berharap bahwa ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua tentang melihat dan merasakan permasalahan nyata di tingkat masyarakat. Percuma jika kita berkoar-koar untuk melindungi hutan, mengatasi ilegal logging tanpa bisa memberikan solusi alternative.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar